Arsip Blog

Investasi yang Tepat di Negara yang Rawan Krisis

Seorang investor memilih beli tanah, karena harga tanah tak pernah turun. Alasan yang bagus. Dia pun membeli sepetak kavling tanah seharga Rp 100 juta. Ditambah biaya-biaya, dia mengeluarkan uang Rp 108 juta. Malangnya, setahun kemudian dia butuh uang. Dia menjual tanah itu seharga Rp 125 juta.

Sebulan berlalu, tidak ada yang menawar tanah itu lebih dari Rp 110 juta. Akhirnya, dengan negosiasi yang alot, tanah itupun dilepas dengan harga Rp 112 juta. Apakah dia memperoleh laba?

Tidak. Sebab dari Rp 112 juta yang diterimanya, dia harus mengetuarkan Rp 2 juta (atau 2 persen) untuk maketar, Rp 5 juta sebagai pajak penjual, dan Rp 2 juta lagi sebagai biaya Man dan operasional. Sang investor merugi Rp 5 juta.

Ilustrasi ini menunjukkan bahwa investasi properti tidak akan memberi hasil maksimal (malah mungkin merugi) kalau waktunya hanya satu tahun. Memang, harga tanah itu akan berlipat ganda. Tetapi dalam jangka waktu yang lama. Mungkin lima tahun, 10 tahun, atau bahkan 20 tahun.

Bunga deposito dan tabungan di bank akan tergerus inflasi. Begitu pula ORI, obligasi yang diterbitkan pemerintah untuk investor ritel. Harga saham selalu toyo pada saat inflasi tinggi dan bunga terkerek naik. Lantas, apa alternatif investasi yang amen di negeri yang rawan krisis seperti Indonesia?

Emas adalah jawabannya.

Banyak yang mengatakan emas bukanlah investasi, karena hanya efektif sebagai alat hedging atau lindung nilai. Ketika ekonomi melaju normal, harga emas stagnan. Baru ketika ada tanda-tanda krisis, harga emas akan membubung tinggi.

Pendapat itu betul. Tapi justru karena krisis itu telah sedemikian melekat dalam sistem ekonomi kita, makin pentinglah investasi emas. Bagaimanapun, perekonomian tak bakal mulus sepanjang dekade. Dalam sepuluh tahun, biasanya terjadi satu kali krisis besar, dan 1-2 kali krisis kecil hingga menengah. Itu berarti, seorang investor harus memiliki emas dalam portofolio investasinya.

Seorang investor di kota besar bisa saja menempatkan 60 persen uangnya ke saham, tapi ia harus punya cadangan emas minimal 20 persen dari seluruh investasinya. Seorang kaya di desa mungkin memiliki 100 hektar tanah dan ratusan ternak, tetapi toh ia mengoteksi perhiasan emas sebagai cadangan kalau memerlukan uang mendadak. Seorang pengusaha sektor riil mungkin saja memiliki 50 outlet minimarket, tetapi dia juga harus punya emas lantakan untuk melindungi seluruh asetnya.

Mengapa? Sebab krisis ekonomi akan membuat saham hancur dan properti tidak laku dijual (karena uang beredar jadi sangat ketat). Krisis ekonomi kadangkala dibarengi kerusuhan sosial, sehingga mungkin saja orang-orang menjarah minimarket. Jika krisis datang, orang-orang yang memiliki cadangan emas relatif bisa mengamankan kekayaannya. Sebab dalam situasi krisis, harga emas terus melambung. Pada saat krisis, menjual emas tetap saja semudah membalikkan telapak tangan.

Menuai Keuntungan dari Emas Simpanan

Sebaiknya, emas tidak dijual sampai kapan pun. Sebab komoditas ini harganya akan terus meroket dalam jangka panjang. Lagipula, siapa yang bisa menjamin bahwa negeri kita selamanya terbebas dari krisis ekonomi? Bayangkan kalau uang kertas sudah tak lagi bernilai, saham nitainya not, maka emas simpanan kitalah yang akan menyelamatkan hidup kita.

Ini bukan berarti menjual emas adalah tindakan yang tidak rasional. Suatu ketika, kita harus menjual emas. Mungkin untuk kegiatan yang lebih produktif. Atau pada saat harga emas berada pada titik tertinggi dalam fluktuasi jangka pendek, sehingga kita harus melakukan aksi ambil untung (profit taking) jangka pendek.

Sebelum menjual emas, carilah lebih dahulu informasi terkini mengenai harga emas dan kecenderungan jangka pendeknya ke depan. Media massa selalu melaporkan perkembangan harga emas terbaru, sekaligus analisisnya terhadap kemungkinan perkembangan harga beberapa waktu mendatang. Kita juga bisa meneropong tren harga emas di internet, misalnya melalui situs Kitco, Goldprice, atau UBS Gold.

Setelah tahu persis pergerakan harga emas, barulah kita memilih tempat menjual. Emas bersertifikat selalu diterima di mana pun. Emas 24 karat lebih mudah dijual daripada 18 karat. Emas dengan sertifikat akan dihargai lebih tinggi. Perhiasan emas yang modelnya masih bertahan, juga akan lebih mudah dijual.

Usahakan untuk menjual kembali di tempat kita membeli sebelumnya, apalagi bila kuitansi pembelian masih ada. Jika ada perjanjian buyback guarantee, cobalah mencari informasi apakah harganya sudah terbaik. Tapi bila ada tempat lain yang bersedia membeli dengan harga lebih tinggi, abaikan saja garansi itu. Jika menjual ke Logam MuliaAneka Tambang, konon ada kemungkinan harganya sedikit lebih tinggi daripada di toko emas biasa.

Prosedur menjual emas sangat sederhana, mirip menukar uang di money changer. Kita tinggal membawa emas yang akan dijual, kemudian pihak toko emas akan meneliti kadarnya. Setelah itu, kita bisa menerima uangnya sesuai harga yang berlaku saat itu. Masalah akan muncul pada saat harga emas berfluktuasi. Jika ini terjadi, mungkin ada perubahan harga antara jam sembilan pagi (saat toko buka) dan jam satu siang. Tapi biasanya, perbedaannya tidak terlalu besar.

Prinsipnya Adalah Menunda Konsumsi

Hakikat dari investasi pada prinsipnya sama dengan menabung. Yaitu menyimpan nilai atau manfaat uang untuk digunakan suatu saat di masa depan. Itulah sebabnya, dalam ilmu ekonomi, I (invest­ment) disamakan dengan S (saving).

Misalkan saja kita menabung di bank. Uang yang kita taruh di bank itu tentu saja tidak selamanya ada di brankas. Oleh pihak bank, uang itu akan disalurkan kepada perusahaan atau pengusaha yang melakukan investasi. Jadi ujung-ujungnya, uang itu akan dipakai untuk investasi.

Rumus yang menyatakan hubungan antara penghasilan, kon­sumsi dan investasi atau tabungan adalah sebagai berikut:

Y = C + I/S

Sumber tabungan atau investasi adalah penghasilan (disimbol­kan dengan Y atau income). Sedangkan simbol C adalah consump­tion (konsumsi) atau nilai uang yang dihabiskan saat ini untuk me menuhi berbagai keperluan. Konsumsi adalah segala aktivitas yang bersifat menghabiskan nilai guna (utility) suatu produk, entah be­rupa barang atau jasa.

Idealnya, seseorang bisa menyisihkan 30 persen dari pengha­sitannya untuk tabungan atau investasi. Angka 30 persen itu adalah proporsi rata-rata, di mana setiap orang bisa tetap hidup dengan layak sambil menabung atau investasi.

Misalnya, Vera memitiki gaji Rp 1.500.000, maka idealnya rumus di atas akan menjadi sbb:

Y = C + I/S
Rp 1.500.000 = Rp 1.050.000 + Rp 450.000

Biasanya, semakin besar penghasilan seseorang, maka persen­tase investasi/tabungannya akan lebih besar. Kalau Vera berhasil mendapat penghasilan tambahan Rp 1 juta di luar gaji, proporsi konsumsi dan investasinya mungkin akan berubah. Secara nominal, konsumsi akan naik. Tapi secara proporsional (persentase), bisa naik bisa juga turun. Karakter seseoranglah yang paling menentukan. Orang yang rasional tidak akan menaikkan konsumsinya melebihi kenaikan pendapatannya. Sebaliknya, orang yang tidak rasional se­ringkali menaikkan konsumsinya melebihi penghasilannya. Bahkan, mereka “menggadaikan pendapatan di masa depan” dengan berbe­lanja menggunakan uang pinjaman.

Misalkan saja Vera adalah orang yang tidak rasional. Dia sudah bosan naik busway untuk pergi ke kantor. Karena penghasilannya naik 67 persen, ia memutuskan untuk mengkredit mobil bekas de­ngan angsuran Rp 1.200.000 per bulan.

Maka, rumusnya adalah sebagai berikut:

Y = C + I/S
Rp 2.500.000 = Rp 2.250.000 + Rp 250.000

Di sini justru terjadi penurunan persentase investasi atau ta­bungan, dari 30 persen menjadi 10 persen. Secara nominal, juga terjadi penurunan investasi atau tabungan dari Rp 450.000 menjadi Rp 250.000. Yang naik tajam adalah konsumsinya, dari Rp 1.050.000 menjadi Rp 2.250.000. Memang tidak semuanya habis dipakai, karena ada sebagian yang sifatnya merupakan pelunasan utang (leasing mobil). Tapi, tetap saja itu adalah pengeluaran.

Sebaliknya, jika Vera termasuk orang yang rasional, ia terlebih dulu mengamankan investasinya. Minimal, persentase investasi tidak berubah (tetap 30%). Dengan demikian, rumusnya akan menjadi se­bagai berikut:

Y = C + I/S
Rp 2.500.000 = Rp 1.750.000 + Rp 750.000

Dengan proporsi yang sama, terjadi kenaikan nominal baik di sisi konsumsi maupun investasi/tabungan. Ini berarti, kesejahteraan Vera saat ini meningkat, tabungan atau simpanan daya belinya untuk masa depan juga meningkat.

Jika Vera cenderung menyimpan kenaikan pendapatannya un­tuk masa depan, dia akan mengalokasikan seluruhnya untuk tabungan atau investasi. Konsumsinya tetap pada angka nominal saat pengha silannya belum bertambah. Budget konsumsinya dipatok tetap Rp 1.050.00, sehingga rumusnya akan menjadi sbb:

Y = C + I/S
Rp 2.500.000 = Rp 1.050.000 + Rp 1.450.000

Tampak bahwa persentase konsumsi Vera turun dari 70 persen menjadi 42 persen, walaupun nominalnya tetap Rp 1.050.000. Tapi investasinya naik tajam dari 30 persen menjadi 58 persen (secara proporsional) atau dari Rp 450.000 menjadi Rp 1.450.000 (secara nominal).

Itu berarti, Vera berhasil mengalokasikan lebih banyak dana untuk tabungan/investasi. Logikanya, bertahun-tahun yang akan datang ia akan memiliki aset lebih besar daripada rekan-rekannya yang tidak bisa menabung/investasi. Uang Rp 1,45 juta per bulan yang disisihkan Vera dari penghasilannya itu akan memiliki nilai yang berlipat ganda bertahun-tahun kemudian.

Pertanyaannya, apakah kemudian kehidupan Vera di kemudian hari akan menjadi lebih sejahtera?

Seharusnya, Vera memang lebih sejahtera. Toh ia sudah berkor­ban pada diri sendiri untuk menunda membeli mobil. la sudah me­nomorduakan kenikmatan memitiki mobil. Kalau mau fair, ia seharus­nya lebih sejahtera.
Tapi jawabnya: belum tentu.

Semua tergantung pada pilihan investasi yang diambil Vera. Semua tergantung pada apakah investasi Vera akan sanggup mena­klukkan inflasi, atau bahkan kehilangan nilainya pelan-pelan karena gerusan inflasi.

Di Indonesia, baik konsumsi maupun investasi/tabungan, sega­lanya harus berkejar-kejaran dengan laju inflasi.